Friday, August 29, 2008

Andy Noya, Kenapa keluar dari METRO TV?

Saya sangat terinspirasi sekaligus persyukur bahwa ternyata banyak
orang yang mengambil keputusan yang "aneh" keluar dari zona
kenyamanan. Tidak mudah mengambil keputusan seperti itu. Ternyata
Andy Noya juga termotivasi dengan kisah yang diceritakan di dalam buku
Who Move My Chese... yang dulu juga memotivasi saya untuk membuat
keputusan menjadi FREEDOM AT 40.

Selamat menikmati dan semoga anda juga termotivasi.

Taufik Arifin

LENTERA JIWA

source: http://kickandy. com/?ar_id= MTEzOA==

Banyak yang bertanya mengapa saya mengundurkan diri sebagai pemimpin
redaksi Metro TV. Memang sulit bagi saya untuk meyakinkan setiap
orang yang bertanya bahwa saya keluar bukan karena ¡pecah kongs
dengan Surya Paloh, bukan karena sedang marah atau bukan dalam
situasi yang tidak menyenangkan. Mungkin terasa aneh pada posisi
yang tinggi, dengan power yang luar biasa sebagai pimpinan sebuah
stasiun televisi berita, tiba-tiba saya mengundurkan diri.

Dalam perjalanan hidup dan karir, dua kali saya mengambil keputusan
sulit. Pertama, ketika saya tamat STM. Saya tidak mengambil peluang
beasiswa ke IKIP Padang. Saya lebih memilih untuk melanjutkan ke
Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta walau harus menanggung sendiri
beban uang kuliah. Kedua, ya itu tadi, ketika saya memutuskan untuk
mengundurkan diri dari Metro TV.

Dalam satu seminar, Rhenald Khasali, penulis buku Change yang saya
kagumi, sembari bergurau di depan ratusan hadirin mencoba
menganalisa mengapa saya keluar dari Metro TV. Andy ibarat ikan di
dalam kolam. Ikannya terus membesar sehingga kolamnya menjadi
kekecilan. Ikan tersebut terpaksa harus mencari kolam yang lebih
besar.

Saya tidak tahu apakah pandangan Rhenald benar. Tapi, jujur saja,
sejak lama saya memang sudah ingin mengundurkan diri dari Metro TV.
Persisnya ketika saya membaca sebuah buku kecil berjudul Who Move My
Cheese.Bagi Anda yang belum baca, buku ini bercerita tentang dua
kurcaci. Mereka hidup dalam sebuah labirin yang sarat dengan keju.
Kurcaci yang satu selalu berpikiran suatu hari kelak keju di tempat
mereka tinggal akan habis. Karena itu, dia selalu menjaga stamina
dan kesadarannya agar jika keju di situ habis, dia dalam kondisi
siap mencari keju di tempat lain. Sebaliknya, kurcaci yang kedua,
begitu yakin sampai kiamat pun persediaan keju tidak akan pernah
habis.

Singkat cerita, suatu hari keju habis. Kurcaci pertama mengajak
sahabatnya untuk meninggalkan tempat itu guna mencari keju di tempat
lain. Sang sahabat menolak. Dia yakin keju itu hanya dipindahkan
oleh seseorang dan nanti suatu hari pasti akan dikembalikan. Karena
itu tidak perlu mencari keju di tempat lain. Dia sudah merasa
nyaman. Maka dia memutuskan menunggu terus di tempat itu sampai
suatu hari keju yang hilang akan kembali. Apa yang terjadi, kurcaci
itu menunggu dan menunggu sampai kemudian mati kelaparan. Sedangkan
kurcaci yang selalu siap tadi sudah menemukan labirin lain yang
penuh keju. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan di tempat lama.

Pesan moral buku sederhana itu jelas: jangan sekali-kali kita merasa
nyaman di suatu tempat sehingga lupa mengembangkan diri guna
menghadapi perubahan dan tantangan yang lebih besar. Mereka yang
tidak mau berubah, dan merasa sudah nyaman di suatu posisi, biasanya
akan mati digilas waktu.

Setelah membaca buku itu, entah mengapa ada dorongan luar biasa yang
menghentak-hentak di dalam dada. Ada gairah yang luar biasa yang
mendorong saya untuk keluar dari Metro TV. Keluar dari labirin yang
selama ini membuat saya sangat nyaman karena setiap hari keju itu
sudah tersedia di depan mata. Saya juga ingin mengikuti lentera jiwa
saya. Memilih arah sesuai panggilan hati. Saya ingin berdiri sendiri.

Maka ketika mendengar sebuah lagu berjudul Lentera Hati yang
dinyanyikan Nugie, hati saya melonjak-lonjak. Selain syair dan pesan
yang ingin disampaikan Nugie dalam lagunya itu sesuai dengan kata
hati saya, sudah sejak lama saya ingin membagi kerisauan saya kepada
banyak orang.

Dalam perjalanan hidup saya, banyak saya jumpai orang-orang yang
merasa tidak bahagia dengan pekerjaan mereka. Bahkan seorang kenalan
saya, yang sudah menduduki posisi puncak di suatu perusahaan
asuransi asing, mengaku tidak bahagia dengan pekerjaannya. Uang dan
jabatan ternyata tidak membuatnya bahagia. Dia merasa lentera
jiwanya ada di ajang pertunjukkan musik. Tetapi dia takut untuk
melompat. Takut untuk memulai dari bawah. Dia merasa tidak siap jika
kehidupan ekonominya yang sudah mapan berantakan. Maka dia menjalani
sisa hidupnya dalam dilema itu. Dia tidak bahagia.

Ketika diminta untuk menjadi pembicara di kampus-kampus, saya juga
menemukan banyak mahasiswa yang tidak happy dengan jurusan yang
mereka tekuni sekarang. Ada yang mengaku waktu itu belum tahu ingin
menjadi apa, ada yang jujur bilang ikut-ikutan pacar (yang
belakangan ternyata putus juga) atau ada yang karena solider pada
teman. Tetapi yang paling banyak mengaku jurusan yang mereka tekuni
sekarang -- dan membuat mereka tidak bahagia -- adalah karena
mengikuti keinginan orangtua.

Dalam episode Lentera Jiwa (tayang Jumat 29 dan Minggu 31 Agustus
2008), kita dapat melihat orang-orang yang berani mengambil
keputusan besar dalam hidup mereka. Ada Bara Patirajawane, anak
diplomat dan lulusan Hubungan Internasional, yang pada satu titik
mengambil keputusan drastis untuk berbelok arah dan menekuni dunia
masak memasak. Dia memilih menjadi koki. Pekerjaan yang sangat dia
sukai dan menghantarkannya sebagai salah satu pemandu acara masak-
memasak di televisi dan kini memiliki restoran sendiri. Saya sangat
bahagia dengan apa yang saya kerjakan saat ini, ujarnya. Padahal,
orangtuanya menghendaki Bara mengikuti jejak sang ayah sebagai
dpilomat.

Juga ada Wahyu Aditya yang sangat bahagia dengan pilihan hatinya
untuk menggeluti bidang animasi. Bidang yang menghantarkannya
mendapat beasiswa dari British Council. Kini Adit bahkan membuka
sekolah animasi. Padahal, ayah dan ibunya lebih menghendaki anak
tercinta mereka mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter.Simak juga
bagaimana Gde Prama memutuskan meninggalkan posisi puncak sebuah
perusahaan jamu dan jabatan komisaris di beberapa perusahaan.
Konsultan manajemen dan penulis buku ini memilih tinggal di Bali dan
bekerja untuk dirinya sendiri sebagai public speaker.

Pertanyaan yang paling hakiki adalah apa yang kita cari dalam
kehidupan yang singkat ini? Semua orang ingin bahagia. Tetapi banyak
yang tidak tahu bagaimana cara mencapainya.

Karena itu, beruntunglah mereka yang saat ini bekerja di bidang yang
dicintainya. Bidang yang membuat mereka begitu bersemangat, begitu
gembira dalam menikmati hidup. Bagi saya, bekerja itu seperti
rekreasi. Gembira terus. Nggak ada capeknya, ujar Yon Koeswoyo,
salah satu personal Koes Plus, saat bertemu saya di kantor majalah
Rolling Stone. Dalam usianya menjelang 68 tahun, Yon tampak penuh
enerji. Dinamis. Tak heran jika malam itu, saat pementasan
Earthfest2008, Yon mampu melantunkan sepuluh lagu tanpa henti.
Sungguh luar biasa. Semua karena saya mencintai pekerjaan saya.
Musik adalah dunia saya. Cinta saya. Hidup saya, katanya.

Berbahagialah mereka yang menikmati pekerjaannya. Berbahagialah
mereka yang sudah mencapai taraf bekerja adalah berekreasi. Sebab
mereka sudah menemukan lentera jiwa mereka.

No comments: